Webinar Bedah Naskah Kuno #7 “Manuskrip dan Perlawanan Bangsa Jawa: Kiai Mutamakkin, Pangeran Diponegoro, dan Kisah-kisah Lain”
Webinar Bedah Naskah Kuno #7
“Manuskrip dan Perlawanan Bangsa Jawa: Kiai Mutamakkin, Pangeran Diponegoro, dan Kisah-kisah Lain”
Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan webinar bedah naskah kuno #7 dengan tema “Manuskrip dan Perlawanan Bangsa Jawa: Kiai Mutamakkin, Pangeran Diponegoro, dan Kisah-kisah Lain” dengan diikuti oleh 100 peserta. (18/11/2021) yang dibuka oleh kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, Dra. Monika Nur Lastiyani, MM. Webinar ini menghadirkan dua narasumber yaitu Prof. Peter Carey dan Taufik Hakim dengan moderator Wiwik Tarmini.
Prof. Peter Carey menyampaikan bahwa Babad Diponegoro merupakan sejarah dari sebuah mahakarya dan Seorang pahlawan nasional nomor wahid di Indonesia. Selain itu juga menjadi idola bagi pemimpin pergerakan nasional Bungkarno (BK) dan potret Diponrgoro oleh Soedjono Abdul (1911-1991) di Gedung Agung Yogyakarta, 17 Agustus 1946. Tokoh yang dipilih oleh jepang untuk menulis biografi Nasional pertama dari pangeran militer Jepang(1942-1945), Muhammad Yamin (1902-1960) diberi komisi untuk menulis biografi Diponegoro yang pertama dibawah Belanda diterbitkan Juni 1945 dalam serie “pelopor nasional”
Babad yang bertuliskan aksara pegon. Aksara pegon adalah aksara yang dipakai oleh santri yang dibuat oleh Jurutulis A.B. Cohen Stuart (seorang ahli sastra kuno) dan Raden Abdul Samsi. Tapi Yamin didalam biografinya terfokus kepada unsur “heroik” dalam kisah Diponegoro. Kemenangan Diponegoro yang membawa pasukan sampai ke pintu Keraton Solo. Muhammad Yamin juga mengutarakan aspek pribadi Diponegoro dimana mungkin saling menarik. Seperti kisah asmaara & spiritual pangeran: kekasih dan istri (7) dan penampakan yang akan menentuhkan takdrinya. Dan sangat signifikan seperti embannya, Ratu Ageng (c.1730-1803), komandan prajurit estri dan permaisuri.
Terdapat kisah di dalam babad bahwa dia dibawa kedalam kalokan oleh eyang buyutnya yaitu Mangku Bumi. Mangku Bumi meramalkan masa depannya pada lakon itu dan Tuhan yang tau apa sebenarnya ujungnya. Sebuah mahakarya yang diselamatkan oleh belanda selain (sebuah mahakarya yang diselamatkan Belanda (salinan 1152 folio yang dibuat oleh Diponegoro). Saran dari J.P. Zoetelief (1820-75) , Residen Banyumas (1862-64) dan Eks Elev Voor de Javaansch seorang murid pelajar bahasa Jawa di Solo.
Sebuah biografi yang lahir dari sebuah penderitaan yang panjang-warisan dari sebuah makam yang jauh di Makasar. Makam Diponegoro dipelacaran dari billah yang dibangun oleh Belanda atas saran dari Diponegoro sendiri untuk Raden Ayu Ratnaningsih masih berdiri di Jl. Irian no.83 akan tetapi sekarang sudah menjadi ruko logam emas dan makam Diponegoro sudah tidak lagi dibawah ini akan tetapi sudah dipindahkan ke tempat yang selamat. Menahan yang tak tertahankan di nusantara gulang Belanda di Sulawesi.
Narasumber yang kedua, Taufik Hakim menyampaikan bahwa Naskah Cabolek ditulis tahun 1892 oleh camat Magetan , Raden Panji Jayasubrata dari Anggitan pensiunan bupati semarang, Kanjeng Raden Adipati Panji Suryokusumo. Ditulis pada masa Pakubuwana IV. Secara kepengarangan dan tahun penciptaan naskah sangat mempunyai alasan tersendiri. Sesungguhnya satu naskah yang dijadikan satu standar sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan para peneliti. Pakubuwana IV bertahta pada 1788-1820 pada waktu itulah Kiya yang mandeg sebagai pujangga istana yang sudah dilantik menjadi pujangga pada 1756-1844.
Pakubuwana IV yang memprakarsai serat Cabolek dikenal sebagai raja yang keras kepala, beliau bersih keras melawan Belanda dengan peristiwa-peristiwa yang konvontatif dan perlawanan yang terang-terangan. Suatu hari setelah peristiwa pakepung, beliau akhirnya diminta untuk menahan diri oleh penasehat-penasehat istana yang mana untuk lebih bersabar dan menggunakan politik-politiksimbolik dengan cara membuat karya sastra dan membangun komunitas epistemic yakni mendirikan suatu pesantren di kompleks kraton Surakarta.
Karya-karya yang sezaman dengan serat Cabolek digunakan untuk membangkitkan ideologi islam dilingkungan kraton. Melalui babad Pakepung, Pakubuwana IV ingin menumbuhkan perlawanan terhadap belanda dan mempersatukan kembali mataram islam. Tertulis dalam buku kinanti yang berarti bahwa Sang Prabu senyum berkata: ïtulah bapang, telah menjadi suratan/ia diciptakan dengan tapang dungu/ tapi diberi hati yang suci/ untuk menjadi petugas suksma/ (ia telah) ditakdirkan memiliki hati suci (Serat Cebolek, Pupuh IV).
Kiai Mutamakkin tidak melayani perdebatan dengan titik anom justru meminta bertemu empatmata dengan Pakubuwana II. Disitulah terjadi peristiwa Baiat. Meskipun tidak spesifik beliau membaiat satawiyyah atau semacam wirid tarikat tertentu tetapi dalam manuskrip ini semakin terang menjelaskan bahwa beliau adalah seorang mursyid tarikat satawiyyah jalur langsung dari Abdul Rauf. Beliau merupakan murid saruperguruan Syekh Abdul Muhyi yang banyak baiatnya juga dikalangan istana tapi terkait apakah betul Pakubuwana II murid langsung dari mbah Mutamakkin itu juga perlu penelitian lebih lanjut.
Terkait siapa Kiai Mutamakkin yang sosoknya diabadikan dalam kesastraan diistana dan menjadi bapak simbolik keraton Jawa yang saat itu sedang adanya konflik yang sangat kompleks yang bahkan Pakubuwana IV sampai dikepung oleh Mangkubumi dan Mangkunegara.
Dalam kisahnya serat Cabolek pun Kiai Mutamakkin tidak dihukum mati sebagaimana para pembangkang mistik syariat islam waktu dijaman pendahulunya seperti Syekh Siti Jenar dan Pangeran Panggug. Dari sini terlihat seolah-olah Pujangga Jawa juga membela kiai Mutamakkin yang secara visi misi ingin menyadarkan kualiti kebangsaan istana jawa bahwa Jawa dan Islam adalah manunggal. Tidak seperti politik orang-orang belanda yang menganggap bahwa Jawa dan Islam itu suatu tradisi yang murni Adhiluhung jawa kuno. Kiai Mutamakkin menjadi bapak penting dalam perlawanan simbolik di Kertosuro.
Dokumen yang melukiskan ketegangan-ketegangan yang dialami orang Jawa setelah adanya kontak dengan agama Islam. Konflik yang terjadi akibat orang jawa masih mempercayai hal-hal mistik. Sang pujangga menulis Serat Cabolek untuk membimbing Sang Raja ikhwal pengaturan laku keberagamaan dilingkungan kraton. Selain itu juga berusaha melestarikan ciri kebudayaan Jawa melalui cerita Dewi Ruci. Secara substansial, cerita Dewa Ruci dalam Serat Cabolek dipersamakan dengan empat tahapan jalan mistik Islam, khususnya untuk menarasikan tahapan hakikat dan makrifat. Pelawanan simbolik tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran relijius dan politik orang Jawa, khususnya kalangan istana yang beranggapan bahwa Jawa dan Islam adalah ‘manunggal’. Bukan seperti seperti narasi Belanda yang mempertentangkan keduanya. Pasca perang Diponegoro, pihak belanda semakin waspada terhadap nuansa Islam yang mengemuka yang disinyalir dapat menimbulkan perlawanan. Akibatnya, dengan segala upaya, Belanda mencoba membuat jarak antara Jawa dengan Islam baik diranah produksi, kesusastraan maupun regulasi administrasi . legalistik ajaran agama Islam.
Tim Humas Balaiyanpus DPAD DIY